Oleh: Jumiarti Agus
“Mungkin bila dibandingkan dengan keluarga kecil di Jepang, penghasilan kami tiap bulan bisa pas-pasan atau malah kurang bagi mereka. Namun kami berusaha untuk survive (bertahan hidup) dengan trik hidup sederhana kami.”
Suatu percakapan lucu terjadi sekitar 2 tahun yang lalu. Seorang kakak kelas saya, saat itu sedang menemani suaminya untuk tugas belajar di sebuah Universitas di jepang berucap, “Wah kalau suamimu sudah 16 tahun di Jepang dan sudah bekerja lama tentu sudah tidur dengan yen.”
Ibaratnya uang yen itu sudah banyak terkumpul, begitu maksudnya.
“Amiin, semoga benar adanya,” itu jawabab yang bisa saya berikan, sambil ketawa lepas di telepon saat itu.
Ya, itulah dugaaan para pendatang baru atau pun seseorang (mahasiswa) yang sudah lama tinggal di Jepang, terhadap kami. Saya maklumi dugaan itu timbul, karena mereka mungkin tidak tahu bagaimana sistem yang berlaku di Jepang untuk orang yang sudah bekerja.
“Nah, apalagi orang kita yang berada di Indonesia? Dugaan seperti itu selalu kami terima”
Gambaran Sistem Ekonomi di Jepang.
Umumnya semua mahasiswa merasakan bahwa uang beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Jepang, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jepang. Uang yang diperoleh sangat bisa untuk ditabung. Apalagi dengan gaya hidup sederhana dan karena faktor agama. Misalnya kita kaum muslim harus memasak sendiri. Lumayan, membuat masakan sendiri bisa menekan pengeluaran tiap bulannya.
Hanya, mungkin saja mahasiswa yang membawa keluarganya tinggal di daerah yang mahal, seperti Tokyo, akan mengalami sedikit kesulitan biaya hidup dari beasiswa diterima. Tetapi bila mereka bisa mangatur keuangan, juga bisa menabung. Ini pengamatan saya terhadap beberapa teman.
“Mengapa demikian?”
Adanya kebijakan pemerintah Jepang, dimana seluruh mahasiswa tidak dikenakan pajak penghasilan atas beasiswa yang diterimanya. Golongan yang tidak membayar pajak, bisa mendapatkan fasilitas dari negara. Misalnya, mereka bisa tinggal di danchi (rumah pemerintah), bila mendaftar tentunya. Mereka membayar uang sekolah anak sangat murah, misalkan setingkat hoikuen/ daycare (penitipan anak), hanya membayar 1000 yen perbulannya. Bahkan ada juga yang gratis, tergantung wilayah atau hoikuen-nya.
Mereka para istri mahasiswa, bisa mendapatkan fasilitas gratis melahirkan hingga anak ke berapapun. Dan bila para isteri atau suami juga ikut sekolah, mereka bisa mengajukan keringanan uang sekolah. Bahkan mereka bisa mendapatkan keringanan hingga 100% atau tidak membayar uang sekolah. Malah banyak juga yang bisa mendapatkan beasiswa sendiri, setelah masuk universitas.
Hal yang saya sebutkan diatas, semuanya berlaku di seluruh Jepang. Jadi banyak fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh negara dan universitas untuk mereka yang masih sekolah, atau bagi mereka yang mempunyai penghasilan di bawah rata-rata atau tidak membayar pajak.
***
Lain halnya bagi mereka yang bekerja dan mempunyai penghasilan sehat. Semua fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa atau orang yang kurang mampu, tidak mereka dapatkan. Semuanya harus membayar mahal. Bila anak sekolah, membayar sangat mahal, sesuai dengan besarnya penghasilan orangtua. Mereka harus membayar pajak sesuai penghailan. Juga tidak ada biaya gratis melahirkan.
Hal itu juga kami alami, misalnya saya harus membayar full (penuh) uang sekolah setiap semesternya, membayar uang sekolah anak yang mahal, bahkan hampir sama mahalnya dengan uang sekolah saya. Dan saya juga harus membayar biaya melahirkan penuh, tanpa ada diskon sedikitpun. Disekolah, saya juga tidak bisa menerima beasiswa, alasan Profesor, suami saya mempunyai penghasilan yang dinilainya baik.
Hidup Sederhana
Semuanya tergantung dari gaya hidup. Meskipun kami telah lama tinggal di Jepang, gaya hidup kami tetap sederhana seperti keluarga kami di Indonesia. Bila dibandingkan dengan keluarga kecil di Jepang, penghasilan kami tiap bulan mungkin pas-pasan atau malah kurang bagi mereka.
Mereka, orang muda Jepang zaman sekarang, umumnya suka makan di luar, dan konsumtif. Mereka biasa memesan makanan yang siap diantar ke rumah dalam hitungan menit. Ya karena semua makanan jadi itu, aman untuk dikonsumsi, disamping servis yang sangat baik sekali.
Mereka juga suka jalan-jalan, baik keluar Jepang ataupun dalam Jepang sendiri. Selain itu mereka juga konsumtif terhadap barabg-barang. Mereka hobi berbelanja, Sabtu dan Minggu adalah hari untuk menyetorkan uangnya ke supermarket atau berbagai toko.
Mungkin berbeda dengan orang Jepang zaman dahulu yang terkenal hemat, sangat kibishi (tegas) mengatur keuangan, dan hobi menabung, karena mereka pernah merasakan masa-masa sulit di Jepang.
***
Kalau di Jepang, umumnya membeli makanan jadi lebih mahal daripada memasak sendiri, dan yang utama, umumnya makanan itu tidak halal. Hanya ada beberapa jenis makanan Jepang yang bisa kami makan, seperti onigiri (nasi yang dikepal, berisi ikan atau jamur dan dibungkus dengan rumput laut kering), sushi (nasi yang diatasnya ada ikan mentah segar), takoyaki (makanan yang terbuat dari tepung terigu dan berisi gurita di dalamnya, berbentuk seperti bola). Tapi tetap saja kami harus berhati-hati dengan komposisi makanan-makanan itu. Misalnya untuk takoyaki, saus kecapnya terkadang berisi bahan yang diekstrak dari daging babi, dan jugamengandung alkohol. Sebagian onigiri ada juga tang tidak halal.
Bagaimana kiat hidup hemat yang saya terapkan di Jepang?
Jujur saja, saya sebagai isteri tidak pernah mengontrol keuangan keluarga secara ketat. Tidak ada tabungan wajib yang harus disimpan tiap bulan. Hanya saja gaya hidup saya yang sederhana, sehingga uang tak pernah digunakan secara mubazir.
Untuk menghemat pengeluaran, ada beberapa cara kami lakukan:
Berbelanja Seminggu Sekali.
Kami selalu berbelanja untuk kebutuhan makanan dan hal lainnya, sekali dalam seminggu. Biasanya kami lakukan pada hari Sabtu dan Minggu, sambil berjalan-jalan keluar bersama keluarga. Semua kebutuhan kami kumpulkan, sehingga kami tidak sering berkunjung ke supermarket. Bila sering melihat barang dagangan, kemungkinan akan bisa tergiur untuk berbelanja. Apalagi di Carrefour dekat rumah kami, sering ada barang yang didiskos, terkadang harganya sangat murah sekali, dan akhirnya bisa tergoda untuk membelinya. Untuk mengatasi hal itu, kami mendisiplinkan diri untuk berbelanja seminggu sekali.
Berbelanja di toko 100 yen
Sesekali kami menyempatkan untuk pergi ke toko 100 yen. Di toko ini, semua barang rata-rata berharga 100 yen. Namun ada juga barang dengan harga yang lebih dari 100 yen. Tetapi bila dibandingkan dengan harga supermarket, di toko 100 yen tetap jauh lebih murah.
Berbagai jenis barang dijual di tiko 100 yen. Bahkan di dekat rumah kami, kira-kira 25 menit dengan sepeda, ada toko 100 yen yang dibangun 5 tingkat. Layaknya seperti supermarket besar, yang menata barang dengan sangat rapi, dan lengkap sekali.
Biasanya pada musim panas kami mengunjungi toko 100 yen yang sangat komplit itu, sambil menikmati alam sekitar dengan bersepeda. Kondisi alam yang aman, tertib lalulintas yang tinggi, serta tempat parkir sepeda di depan toko 100 yen yang luas, membuat perjalanan kami pun menyenangkan.Kami mengumpulkan kebutuhan yang kira-kira diperlukan. Pada saat itu kami berbelanja dalam jumlah banyak, untuk beberapa bulan kedepan. Sehingga terasa sangat menghemat uang. Misalnya untuk kebutuhan menjahit, alat tulis, perlengkapan menulis dan berkarya Najmi, saya selalu membelinya di toko 100 yen. Walaupun terasa agak capek, tapi hati senang, karena mendapat barang bagus dan murah meriah.
Selain hal di atas, di toko 100 yen, saya senang cuci mata, maksudnya melihat-lihat barang yang diproduksi, yang makin hari makin beragam saja. Berbagai macam barang innovative (barang baru yang diciptakan sesuai dengan tuntutan manusia saat ini) diproduksi. Semuanya sangat unik, dan mempunyai originality (keaslian) yang tinggi. Saya salut akan ide berfikirnya orang Jepang, mereka selalu menciptakan barang-barang yang spesial untuk meringankan tugas manusia, dan menghemat waktu.
Suami saya juga suka membeli barang yang unik. Misalkan, beliau yang membelikan pemotong telur, sehingga pekerjaan menjadi lebih cepat dan gampang. Alat pembersih sedotan minuman untuk Najmi, sehingga sedotan tetap bersih selalu. Dan banyak lagi barang-barang unik dan spesial lainnya.
Berbelanja di malam hari.
Sekitar jam 8 malam, kebanyakan supermarket di Jepang memberikan diskon yang lumayan besar, misalnya untuk ikan menjadi setengah harga atau diskon 30-50%. Dulu saya sering menyempatkan diri untuk membeli lauk/ ikan di malam hari, karena harganya sangat miring, saya bahkan bisa mendapatkan diskon hingga 50%. Ketika mujur begitu, saya membeli dalam jumlah yang banyak, karena bisa menghemat uang. Saya merasakan ada kepuasan tersendiri untuk berbelanja dengan bonus.
Berbelanja pada hari tertentu.
Di Carrefour Minami Machida dekat rumah kami, sering ada kupon 500 yen, bila berbelanja lebih dari 3000 yen. Hal itu biasanya berlaku setiap hari senin. Dari rumah saya ke Carrefour kira-kira 5 menit berjalan kaki. Karena jaraknya yang dekat sekali, bila ada momen seperti itu dan memungkinkan, saya berusaha berbelanja di hari senin, seharga 3000 yen.
Pengeluaran untuk hari senin, memang sudah ditargetkan saat berbelanja pada hari Sabtu atau Minggu bersama keluarga. Dengan demikian tidak menyebabkan pengeluaran mubazir.
Kupon itu bisa digunakan selama 1 minggu, artinya hingga hari senin berikutnya. Namun kesempatan seperti ini, tidak selalu ada sepanjang tahun, tetapi cukup sering.
Berbelanja setelah selesai suatu musim
Untuk baju, sepatu dan tas, saya kerap membelinya saat-saat diskon besar. Biasanya setelah musim selesai, harga barang turun drastis. Bahkan ada yang hanya 10% dari harga asal, misalnya harga normal 1000 yen, saat akhir musim bisa jadi 100 yen saja. Terutama untuk baju anak, dan pakaian suami, saya sering membelinya di GAP, Uniqlo, Commeca Ism atau di Carrefour. Terkadang barang yang dibeli saat itu buat dipakai tahun depan. Tidak masalah bila barang itu disimpan dulu, sebab nanti kalau musimnya tiba, dan kami baru membeli barang-barang yang dibutuhkan, maka harganya akan sangat tinggi.
Jadi, saya hampir tidak pernah membeli barang-barang yang diperlukan saat musimnya datang. Apalagi kami tinggal dekat dengan pusat perbelanjaan. Apa saja ada. Sehingga, setiap Minggu kami bisa memonitor barang-barang yang diperlukan. Tokonya pun kami telah paham, mana yang menjual barang-barang yang sesuai dengan selera kami. Jadi kami tidak perlu pusing untuk berbelanja. Bahkan saking seringnya kami berkunjung, pelayan toko pun sudah kenal dengan wajah kami.
Berbelanja di book off
Najmi anak saya senang sekali membaca buku. Untuk selalu membeli buku baru, tentu harganya mahal. Kami sering mengunjungi Book off, toko buku second. Terkadang kalau kita bisa memilih, bisa juga memperoleh buku yang masih baru.
Saya juga hobi membeli majalah, misalnya majalah model baju anak yang dilengkapi dengan pola, majalah merajut, majalah interior dan kerajinan lainnya. Ya bagus-bagus sekali, terkadang malah harganya hanya 100 yen saja.
Berbelanja di bazar
Dulu ketika Najmi bayi, kami juga membeli sebagian baju Najmi di bazar. Tidak selalu baju second yang kami dapat. Topi merah bergambar Minny kesukaan Najmi, kami dapatkan di bazar, juga rok jin merahnya. Harganya murah sekali, hanya 500 yen. Tetapi kalau membelinya di toko, mungkin harganya sekitar 4000 yen. Saat itu saya tawar 100 yen, tapi yang menjual kekeuh tidak mau turun.
“Mada sinpin na node (barangnya masih baru),” begitu ucap penjual.
Saya tahu barang itu bagus, akhirnya saya hanya membelinya dengan harga yang ditetapkan oleh penjual.
Pengalaman saya pergi ke bazar, biasanya orang Jepang sangat tidak bisa menolak, bila kita menawar harga yang mereka tetapkan. Tapi kali ini tidak. Lagi pula saya naksir berat sama topi dan rok merah itu.
“Wah ini cocok dengan jas Najmi yang saya beli di Commeca Ism untuk seminar,” celoteh saya dalam hati.
Bila baju second, saya suka membeli yang unik, tentu dipilih-pilih yang bagus. Pergi ke bazar, bagi saya terasa sekali sangat menghemat uang.
***
Orang Jepang apik memelihara barangnya, barang yang dijual di bazar, dibungkus rapi dan dalam keadaan bersih. Biasanya setelah dari bazar, saya selalu membawa baju-baju yang saya beli itu ke sekolah. Di lab baju-baju itu saya autoklaf dulu, sehingga bajunya steril dan bebas kuman. Kebetulan autoklaf adalah salah satu alat yang harus ada di lab saya.
Saya juga membeli buku-buku saat bazar. Kalau buku, biasanya saya semprot dengan alkohol 70%, seperti mana saya bekerja di lab yang tiap hari mensterilkan tangan dengan alkohol 70%.
Berbelanja di toko 99 yen.
Sesekali saya juga mengunjungi toko 99 yen. Tetapi letaknya dari rumah agak jauh. Namun kalau lewat di sana dan ada keperluan kearah toko 99 yen ini, saya menyempatkan untuk membeli sesuatu yang tahan lama.
Berbelanja di warung-warung sayur atau tenda sayur.
Ketika tinggal di Suzukakeihatsu (nama apartemen kami dulunya), saya suka membeli sayur segar di warung-warung yang ada di depan rumah petani. Didaerah tempat tinggal kami waktu itu, juga ada petani. Tapi kebunnya tidak begitu luas, namun lumayan setiap hari selalu ada sayuran yang dijual. Semua sayuran, harga persatuannya tertulis 100 yen. Warung itu tidak ada orang yang menjaganya. Tetapi dekat sayuran disediakan kotak untuk memasukkan uang. Semuanya didasarkan atas unsur kepercayaan. Kotak uang pun tidak ada yang menganbilnya. Rata-rata di seluruh Jepang ada warung seperti ini.
Saya tidak harus menyediakan waktu khusus untuk hal ini. Setelah mengantar Najmi ke sekolahnya di pagi hari, saya harus melalui warung sayur ini menuju rumah ke kampus.
Berbelanja di supermarket sesuai dengan bahan yang murah, kecuali kalau ingin sekali.
Trik lain untuk menghemat pengeluaran, saya akan memilih sayuran atau ikan berdasarkan harga yang murah. Untuk sayuran biasanya tersedia beranekargam jenis sayuran. Dan harganya pun bergilir murah secara berkala, sesuai panen dan persediaan. Misalnya saat bombai melimpah, harganya hanya 15 yen persatuannya. Saya akan langsung memborong banyak, 10-15 biji. Bombai sebagai pengganti bawang merah bagi kita di Indonesia. Apapun jenis masakan akan terpakai. Begitu juga dengan wortel, paprika, kentang dan yang lainnya. Belanja buah-buahan pun begitu, sesuai harga, buah mana yang murah. Kecuali bila kami ingin seklai. Betapapun mahalnya biasanya kami akan membelinya, demi selera. Walaupun harganya mahal, tapi sangat jauh lebih murah, daripada pulang ke Indonesia untuk mendapatkannya.
Suka menyetok barang di rumah
Di Jepang, harga ikan lebih mahal daripada daging. Saat harga ikan murah, saya akan membelinya dalam jumlah yang banyak, dan meyimpannya di freezer. Jadi untuk kebutuhan seminggu, lauk sudah siap sedia di rumah.
Dari bahan ikan bisa di buat bakso ikan, tempura (gorengan), dan berbagai variasi makanan yang kami inginkan, baik makanan nusantara maupun masakan Jepang halal versi kami.
Membuat baju anak sendiri.
Harga baju di Jepang, apalagi baju anak, mahal sekali. Misalnya untuk anak berusia 5 tahun, harganya mencapai 5000 yen (Rp. 450.000) lebih, untuk baju biasa. Kalau baju resmi bahkan hingga 10 ribu yen (980 ribu rupiah) lebih. Melihat hal itu, saya tercambuk sekali untuk membuatkan baju Najmi. Kebetulan dulu di Indonesia, saya telah terbiasa membuat baju sendiri.
Wassalam
Jumiarti Agus
Leave a Reply